ini adalah link untuk mengunduh Soal Latihan UAS TIK Semester Genap, sudah disertai kunci jawabannya.
jika ada yang belum memiliki akun 4shared silahkan sign up dahulu jika kalian tidak bisa mengunduh file yang ada pada link tersebut:
http://www.4shared.com/file/RHUMV-M1/Lat_UAS_TIK_Semester_Genap.html
welcome to my blog
Thursday, May 30, 2013
Saturday, April 27, 2013
Chicken Soup: Dua Kantong yang Berbeda
Alkisah, ada seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan
& ketenangan di dalam hidupnya. Orang tersebut mempunyai dua kantong. Pada
kantong yang satu terdapat lubang di bawahnya, tapi pada kantong yang lainnya
tidak terdapat lubang.
Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya
seperti makian & sindiran, ditulisnya di sebuah kertas, digulung kecil,
kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang berlubang. Tetapi semua yang
indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya di sebuah kertas kemudian
dimasukkannya ke dalam kantong yang tidak ada lubangnya.
Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam
saku yang tidak berlubang, membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah
diperolehnya sepanjang hari itu. Kemudian ia merogoh kantong yang ada
lubangnya, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Maka ia pun tertawa dan tetap
bersukacita karena tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.
Teman2.. Itulah yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan
semua yang baik di “kantong yang tidak berlubang”, sehingga tidak satupun yang
baik yang hilang dari hidup kita. Sebaliknya, simpanlah semua yang buruk di
“kantong yang berlubang”. Maka yang buruk itu akan jatuh dan tidak perlu kita
ingat lagi.
Namun sayang sekali.. masih banyak orang yang melakukan
dengan terbalik! Mereka menyimpan semua yang baik di “kantong yang berlubang”,
dan apa yang tidak baik di “kantong yang tidak berlubang” (alias memelihara
pikiran-pikiran jahat dan segala sesuatu yang menyakitkan hati). Maka, jiwanya
menjadi tertekan & tidak ada gairah dalam menjalani hidup.
Oleh karena itu, agar bisa menikmati kehidupan yang bahagia
dan tenang: jangan menyimpan apa yang tidak baik di dalam hidup kita (tahukah
Anda: sakit hati, iri hati, dendam, dan kemarahan juga bisa menyebabkan
penyakit serius bahkan kematian). Mari mencoba, menyimpan hanya yang baik dan bermanfaat.
Chicken Soup: Gurun Pasir
Seorang pria tersesat di gurun pasir. Ia hampir mati
kehausan. Akhirnya, ia tiba di sebuah rumah kosong. Di depan rumah tua tanpa
jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air. Segera ia menuju pompa
itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi, tidak ada air yang keluar.
Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan
mulutnya tertutup gabus dan tertempel kertas dengan tulisan,”Sahabat, pompa ini
harus dipancing dengan air dulu.. Setelah Anda mendapatkan airnya, mohon jangan
lupa mengisi kendi ini lagi sebelum Anda pergi.” Pria itu mencabut gabusnya dan
ternyata kendi itu berisi penuh air.
“Apakah air ini harus dipergunakan untuk memancing pompa?
Bagaimana kalau tidak berhasil? Tidak ada air lagi. Bukankah lebih aman saya
minum airnya dulu daripada nanti mati kehausan kalau ternyata pompanya tidak
berfungsi? Untuk apa menuangkannya ke pompa karatan hanya karena instruksi di
atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.
Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti
nasihat yang tertera di kertas itu, sekali pun berisiko. Ia menuangkan seluruh
isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan itu dan dengan sekuat tenaga
memompanya.
Benar!! Air keluar dengan melimpah. Pria itu minum
sepuasnya.
Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan
tempat itu, ia mengisi kendi itu sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan
menambahkan beberapa kata di bawah instruksi pesan itu: “Saya telah
melakukannya dan berhasil. Engkau harus mengorbankan semuanya terlebih dahulu
sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!! Inilah kebenaran
hukum alam.”
Chicken Soup: Seekor Lalat
Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah
tong sampah di depan sebuah rumah. Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan
tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian nampak seekor lalat bergegas
terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang
penuh dengan makanan lezat.
“Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati
makanan segar,” katanya. Setelah kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan
terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah
terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya
yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali
dengan mereka.
Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan
menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari
pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri
ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin
petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan. Esok paginya, nampak lalat
itu terkulai lemas terkapar di lantai.
Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan
beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai
lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai
menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai
mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.
Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada
rekannya yang lebih tua, “Ada apa dengan lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?”
“Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini.
Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras
berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan
keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi
menu makan malam kita.”
Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih
penasaran dan bertanya lagi, “Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu
sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?”
Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua
itu menjawab, “Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah
mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama.”
Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan
perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, “Ingat anak
muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil
yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini.”
Chicken Soup: Membeli Waktu
Pada suatu hari, seorang Ayah pulang dari bekerja pukul 21.00 malam. Seperti hari-hari sebelumnya,
hari itu sangat melelahkan baginya.
Sesampainya di rumah ia mendapati anaknya yang berusia 8 tahun yang duduk di
kelas 2 SD sudah menunggunya di depan pintu rumah. Sepertinya ia sudah menunggu lama.
“Kok belum tidur?” sapa sang Ayah pada anaknya.
Biasanya si anak sudah lelap ketika ia pulang kerja, dan baru bangun ketika ia akan bersiap
berangkat ke kantor di pagi hari.
“Aku menunggu Papa pulang, karena aku mau tanya berapa sih
gaji Papa?”, kata sang anak.
“Lho, tumben, kok nanya gaji Papa segala? Kamu mau
minta uang lagi ya?”, jawab sang ayah.
“Ah, nggak pa, aku sekedar..pengin tahu aja…” kata anaknya
.
“Oke, kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja
sekitar 10 jam dan dibayar Rp.400.000. Setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi gaji
Papa satu bulan berapa coba?”, tanya sang ayah.
Si anak kemudian berlari mengambil kertas dari meja belajar
sementara Ayahnya melepas sepatu dan mengambil minuman.
Ketika sang Ayah ke kamar untuk berganti pakaian, sang anak
mengikutinya.
“Jadi kalau satu hari Papa dibayar Rp 400.000 utuk 10 jam,
berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000 dong!”
“Kamu pinter, sekarang tidur ya..sudah malam!”
Tapi sang anak tidak mau beranjak. “Papa, aku boleh pinjam
uang Rp 10.000 nggak?”
“Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam begini.
Sudah, besok pagi saja. Sekarang kamu tidur”
“Tapi papa..”
“Sudah, sekarang tidur” suara sang Ayah mulai meninggi.
Anak kecil itu berbalik menuju kamarnya.
Sang Ayah tampak menyesali ucapannya. Tak lama kemudian ia
menghampiri anaknya di kamar. Anak itu sedang terisak-isak sambil memegang uang
Rp 30.000.
Sambil mengelus kepala sang anak, Papanya berkata “Maafin Papa ya! Kenapa kamu minta uang
malam-malam begini.. Besok kan masih bisa. Jangankan Rp.10.000, lebih dari
itu juga boleh. Kamu mau pakai buat beli
mainan khan?”
“Papa, aku ngga minta uang. Aku pinjam…nanti aku kembalikan
kalau sudah menabung lagi dari uang jajanku.”
“Iya..iya..tapi buat apa?” tanya sang Papa.
“Aku menunggu Papa pulang hari ini dari jam 8. Aku mau ajak
Papa main ular tangga. Satu jam saja pa, aku mohon. Mama sering bilang, kalau
waktu Papa itu sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Papa. Aku buka
tabunganku, tapi cuma ada uang Rp 30.000. Tadi Papa bilang, untuk satu jam Papa
dibayar Rp 40.000.. Karena uang tabunganku hanya Rp.30.000,- dan itu tidak
cukup, aku mau pinjam Rp 10.000 dari Papa” Sang Papa cuma terdiam.
Ia kehilangan kata-kata. Ia pun memeluk erat anak kecil itu
sambil menangis. Mendengar perkataan anaknya, sang Papa langsung terdiam, ia
seketika terenyuh, kehilangan kata-kata dan menangis..
Ia lalu segera merangkul sang anak yang disayanginya itu
sambil menangis dan minta maaf pada sang anak..
“Maafkan Papa sayang…” ujar sang Papa.
“Papa telah khilaf, selama ini Papa lupa untuk apa Papa bekerja keras. Maafkan Papa anakku” kata sang
Papa ditengah suara tangisnya.
Si anak hanya diam membisu dalam dekapan sang Papanya.
Chicken Soup: 5 Menit
Suatu hari di sebuah taman, seorang wanita duduk di sebuah
bangku di taman bermain. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang sedang memandang
seorang anak di taman bermain. "Itu anak saya di sana," katanya,
sambil menunjuk seorang anak kecil dengan baju merah yang sedang ayunan.
"Dia anak tampan," kata ibu tersebut. "Kalau
itu anak saya bermain di pasir dengan baju biru." Kemudian, melihat jam
tangannya, dia memanggil anaknya. "Doni, ayo kita pulang Nak?"
Doni memohon, "Lima menit lagi, ya ibu?".
"Hanya lima menit lagi ya!". Ibu itu mengangguk dan Doni terus
bermain pasir.
Menit-menit berlalu dan sang ibu berdiri dan memanggil lagi
anaknya. "Waktunya untuk pulang sekarang?" Sekali lagi Doni memohon, "Lima menit lagi, Bu. Hanya lima menit lagi..." Ibu itu
tersenyum dan berkata, "baiklah"
"Anda sabar sekali sebagai seorang ibu ," kata
wanita itu.
Sang ibu itu tersenyum dan kemudian berkata, "Kakak
Doni, John, meninggal dalam kecelakaan tahun lalu saat dia mengendarai
sepedanya di dekat sini, saya sendiri tidak pernah menghabiskan banyak waktu
dengannya yang saya mampu. Seandainya ia masih hidup sekarang, saya akan
memberikan apa saja untuknya meskipun hanya lima menit. Saya sudah bersumpah
untuk tidak membuat kesalahan yang sama dengan Doni. Biarkan dia berpikir
memiliki tambahan waktu lima menit lebih banyak untuk bermain... karena
sesungguhnya, sayalah yang mendapatkan lima menit lebih banyak untuk melihat
dia bermain."
Mari kita meluangkan waktu yang berharga dengan orang-orang
yang dekat, yang sayang kepada kita. Agar kita tidak menyesalinya ketika
kesempatan kesempatan itu sudah tidak ada lagi...
Chicken Soup: Rahasia Kebahagiaan
Seorang pemilik toko menyuruh anaknya untuk belajar tentang
rahasia kebahagiaan dari orang paling bijaksana di seluruh negeri. Anak itu
melintasi padang pasir selama 40 hari, dan akhirnya tiba di sebuah kastil yang
indah, tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.
Alih-alih mencari orang bijak tersebut, Si Anak malah
melihat kesibukan di dalam kastil tersebut: pedagang datang dan
pergi, orang-orang bercakap-cakap di sudut-sudut, orkestra kecil sedang
memainkan musik lembut, dan ada meja ditutupi dengan piring-piring makanan
paling lezat di seluruh dunia. Si orang bijak berbicara dengan setiap orang,
dan anak muda itu harus menunggu selama dua jam sebelum tiba gilirannya untuk
dapat bertemu dengannya.
Orang bijak mendengarkan dengan seksama penjelasan anak itu
mengapa ia datang, tetapi orang bijak tersebut mengatakan bahwa ia tidak punya
waktu saat itu untuk menjelaskan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan agar anak
itu melihat-lihat istana dan kembali dalam dua jam.
"Sementara itu, saya ingin meminta Anda untuk melakukan
sesuatu", kata orang bijak, sambil menyerahkan anak itu sebuah sendok teh
berisi dua tetes minyak. "Saat Anda berjalan-jalan bawa sendok ini bersama
Anda tanpa membiarkan minyaknya tumpah".
Anak itu mulai mendaki dan menuruni banyak anak tangga dalam
istana, sambil matanya tertuju pada sendok. Setelah dua jam, ia kembali ke
ruang di mana orang bijak itu.
"Nah", kata si orang bijak, "Apakah Anda
melihat permadani Persia yang tergantung di ruang makanku? Apakah Anda melihat
taman yang butuh tukang kebun induk sepuluh tahun untuk menciptakan? Apakah
Anda melihat perkamen indah dan koleksi di perpustakaan? "
Anak itu merasa malu, dan mengaku bahwa ia tidak sempat
melihat apapun. Satu-satunya kekhawatirannya adalah menumpahkan minyak yang
telah dipercayakan kepadanya.
"Kembali dan ulangi lagi, amati dan nikmati lingkungan
dan keindahan rumah ini", kata orang bijak. "Anda tidak bisa
mempercayai seseorang, kalau tidak mengenal rumahnya".
Merasa lega, anak itu mengambil sendok dan kembali
menjelajahi istana, kali ini dia mengamati semua karya seni di langit-langit
dan dinding. Dia melihat kebun, pegunungan di sekelilingnya, keindahan
bunga-bunga, dan rasa dengan yang semuanya telah dipilih. Setelah kembali ke
orang bijak, ia terkait dalam segala detil yang telah dilihatnya.
"Tapi di mana tetes minyak saya dipercayakan kepada
Anda?" tanya si orang bijak. Melihat ke bawah di sendok di tangannya, anak
itu melihat bahwa minyak telah hilang.
"Nah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan
Anda", kata orang paling bijak. "Rahasia kebahagiaan adalah dengan
menikmati segala hal menakjubkan di dunia dan tidak pernah melupakan
tetes-tetes minyak di sendok".
Penulis: Paul Coelho dalam "The Alchemist"
Chicken Soup: Sirkus
Pada suatu saat ketika saya masih berumur belasan tahun,
ayah dan saya berdiri di antrian untuk membeli tiket pertunjukan sirkus.
Akhirnya, hanya tinggal sebuah keluarga di antara kami dan counter tiket.
Keluarga tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam dalam diri saya.
Keluarga itu mempunyai delapan anak, boleh jadi semuanya masih berumur dibawah
12 tahun. Anda bisa mengatakan kalau mereka tidak mempunyai banyak uang.
Pakaian mereka tidak mahal, tetapi bersih. Anak-anaknya mempunyai sikap yang
sangat baik, semuanya berdiri antri dengan tertib, dua-dua di belakang orang
tua mereka, sambil bergandengan tangan. Mereka semua sangat antusias berbicara
tentang badut-badut sirkus, gajah, dan hal-hal lain yang akan mereka lihat
malam itu. Orang pasti merasa kalau mereka semua belum pernah melihat sirkus
sebelumnya. Nampaknya malam itu akan menjadi momen yang sangat penting dalam
kehidupan masa remaja mereka.
Sang ayah dan ibu berada di depan, berdiri dengan bangga.
Sang ibu memegang tangan suaminya, menatapnya seolah mengatakan, ”Kau adalah
ksatriaku dalam pakaian baja yang bersinar.” sang suami tersenyum dan penuh
kebanggaan, menatapnya seolah-olah menjawab, ”Memang benar.”
Penjual tiket itu lalu mengatakan harga tiket yang harus di
bayar. Istri lelaki tersebut melepaskan tangan suaminya, kepalanya terkulai,
bibir lelaki itu nampak mulai gemetar. Sang ayah lalu mendekat sambil
memiringkan tubuhnya dan berkata, ”Berapa?”
Kembali penjual tiket itu mengatakan harganya.
Uang lelaki itu tidak cukup untuk membayarnya.
Apa yang akan terjadi seandainya dia berbalik dan mengatakan
kepada kedelapan anaknya bahwa dia tidak mempunyai cukup uang untuk membawa
mereka melihat sirkus?
Mengetahui apa yang terjadi, ayah saya memasukkan tangan ke
saku celananya, mengambil uang 20 dolar dan menjatuhkannya ke lantai. (Kami
sama sekali tdak kaya!) Ayah saya membungkuk, mengambil uang tersebut, dan
menepuk bahu lelaki itu dan menggatakan, ”Maaf, pak, uang ini jatuh dari saku
Anda.”
Lelaki itu mengetahui maksud ayah saya. Jelas dia tidak
ingin minta bantuan tetapi yang pasti dia sangat menghargai bantuan tersebut
dalam situasi yang putus asa, menyedihkan, dan juga memalukan. Dia menatap mata
ayah saya secara langsung, menyambut tangan ayah ke dalam kedua tangannya,
menggenggam erat uang 20 dolar tersebut, dan dengan bibir gemetar dan air mata
membasahi pipinya, dia menjawab, ”Terima kasih, terima kasih, pak. Uang ini
sangat berarti bagi saya dan keluarga saya.”
Ayah saya dan saya kembali masuk ke dalam mobil dan langsung
pulang. Kami tidak jadi nonton sirkus malam itu, tetapi kami merasa senang.
Chicken Soup: Kisah Pohon Apel dan Anak Manusia
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak
lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang
memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan
rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian
pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu .
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar
dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap hari nya.Suatu hari ia
mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih .
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta
pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon
lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya
uang untuk membelinya.
"Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak
punya uang.... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau
bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah
apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu
anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat
senang melihatnya datang .
"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya
waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku.
Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal . Maukah kau menolongku?"
Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah.Tapi kau boleh menebang
semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting
pohon apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia
melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon
apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi denganku," kata pohon
apel..
"Aku sedih ," kata anak lelaki itu. "Aku
sudah tua dan ingin hidup tenang.. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar.
Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong
batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah
berlayar dan bersenang-senanglah ."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan
membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi
datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun
kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku
sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah
tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau
panjat ," kata pohon apel. "Sekarang , aku sudah terlalu tua untuk
itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa
aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan
sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata
anak lelaki."Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat
lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua
adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring
di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu
berbaring di pelukan akar-akar pohon.Pohon apel itu sangat gembira dan
tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Pohon apel itu adalah orang tua kita .Ketika kita muda, kita
senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita
meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam
kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk
memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda
mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon
itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.Dan, yang
terpenting: cintailah orang tua kita.Sampaikan pada orang tua kita sekarang,
betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan
akan diberikannya pada kita.
Subscribe to:
Comments (Atom)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)


